Sebelum menginjak ke cerita ijinkan saya perkenalkan diriku terlebih dahulu nama saya Albi umur 24 tahun aku barusan lulus dari gelar sarjanaku fakultas ekonomi teknik, dan setelah aku melamar pekerjaan di berbagai perusahaan, kemarin ada yang meneleponku mengaku namanya Ibu Ratna mengundang untuk mengikuti psikotes.
Kemudian setelah berjanjian untuk datang
hari yang disebutkan , saya melangkah menuju lobby hotel. Selintas saya
melihat pengunjung hotel yang sedang menikmati breakfast (atau lebih
tepatnya lunch kali yah?) di coffee shop dan berkeliaran di sekitar
lobby. Yah.. dibanding mereka yang berpenampilan santai sih, saya
lumayan rapi. Ah cuek sajalah, yang penting PD.
“Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana
yah?” tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front
office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut.
“Oh.. naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan,” jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya
pun bergegas menuju ruang recruitment. Hmm.. masih sepi nih, maklum
jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya melirik jam tangan saya baru
menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah mengisi daftar hadir dan mengambil
formulir data diri, saya menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di
pelataran ruangan tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika
seorang wanita mempersilakan para peserta untuk masuk ke ruang tes.
Setelah mengambil posisi, saya melihat peserta lainnya. Hmm.. ada
beberapa wajah yang saya kenal karena memang teman sekuliah, but now
they are my competitor.
Di depan ruangan telah berdiri 2 orang
wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Mbak Devi dan Mbak
Lista. Saya menyebut Mbak karena saya kira mereka tidak terlalu jauh tua
dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri dengan sebutan Ibu.
Keduanya cantik, walaupun dalam
perspektif yang berbeda. Mbak Devi berwajah tegas cenderung judes,
sangat PD dan terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan Mbak Lista
terkesan lembut, berhati-hati dan komunikatif.
Kalau saya menilainya sebagai wanita
yang seharusnya dipacari (Mbak Devi) dan wanita yang seharusnya dinikahi
(Mbak Lista). Hahaha.. mungkin agak aneh penilaian saya ini.
Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45 menit yang dibutuhkan Mbak Lista untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan Mbak Devi entah menghilang kemana.
Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45 menit yang dibutuhkan Mbak Lista untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan Mbak Devi entah menghilang kemana.
Tepat jam 11.45 WIB kami diusir ke luar
ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian diumumkan
orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview. Dari 200-an
pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang dipanggil
interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan diterima.
Ternyata nama saya tercantum dalam
daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an
interview. Interview will be done in english, so I have to prepare
myself. But it’s only my first experience, so what the hell..! Saya
berusaha cuek dan rileks saja menghadapinya, masa bodoh teuing lah kata
orang sini.
Sekitar jam 14.45 WIB nama saya
disebutkan untuk memasuki ruangan interview. Hhmm.. ternyata yang
meng-interview (eh ini bahasa mana yah?) saya adalah Mbak Lista. Setelah
memperkenalkan diri, kami terlibat dalam obrolan yang serius namun
akrab. Berkali-kali dia membujuk saya untuk mau bergabung pada
perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik.
Saya sih sebenarnya lebih senang bekerja
pada shop floor di pabrik daripada harus bekerja di kantor manajemen di
belakang meja dan di depan komputer. Tapi permasalahannya adalah bahwa
pabrik yang bersangkutan terletak di sebuah kota di pesisir utara pulau
Jawa, sebuah kota yang menjadi pintu gerbang Jawa Barat terhadap
tetangganya di sebelah timur.
Away from home means extra cost for
living, am I right? Tidak terasa kami mengobrol semakin akrab. Mbak
Lista ternyata benar-benar smart, komunikatif dan mampu membawa suasana
bersahabat dalam sebuah perbincangan. Tidak heran ternyata dia adalah
alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada sebuah perguruan tinggi di
selatan Jakarta yang terkenal dengan jaket kuningnya.
“That’s all Albi, thank you for joining
this recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or
phone,” kata Mbak Lista mengakhiri pembicaraan.
“The pleasure is mine,” jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
“Albi, why do you look so confident today? The others don’t look like you,” tiba-tiba Mbak Lista berbicara lagi kepada saya.
“I just try to be myself, no need to
pretend being someone else,” jawab saya sambil bingung, sebenarnya apa
yang telah saya lakukan sih sampai dia menilai saya seperti itu?
“Cool, I like your style,” sambung Mbak Lista lagi.
“I like your style too,” jawab saya (pura-pura) cuek.
“Lista, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number?” sambung saya lagi.
Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya lagi.
Baru beberapa saat mengobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya sudah kenal lama yah? Mbak Lista cuma tersenyum dan memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih pengangguran dan tidak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung pulang.
Baru beberapa saat mengobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya sudah kenal lama yah? Mbak Lista cuma tersenyum dan memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih pengangguran dan tidak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung pulang.
Saya lagi termenung di kamar kost di
depan komputer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game
Championship Manager 4. Sialan.. menyerang habis-habisan kok malah kalah
yah, pikir saya sambil menatap statistik permainan. Tiba-tiba..
krriinngg, teleponku berbunyi mengagetkanku karena memang dipasang pada
volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada
di memori). Langsung saya jawab,
“Hallo..”
“Hallo.. ini Albi?” terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
“Iya, ini Albi,” jawab saya.
Sejenak saya terganggu koneksi telepon
yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah sini.
Ternyata itu telepon dari Mbak Lista. Dia sih ngakunya cuma iseng saja
men-check nomor saya.
Setelah ngobrol sebentar, saya bertanya,
“Mbak, banyak kerjaan tidak?”
“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah?” jawab Mbak Lista disusul suara tertawanya yang ramah.
“Boleh, siapa takut..?” balas saya sambil senyum iseng (untung dia tidak bisa lihat senyum saya).
“tidak kok udah selesai semua, free as a
bird,” katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The Beatles (atau
John Lennon? ah masa bodoh teuing lah).
Akhirnya kami sepakat untuk jalan-jalan
(but no business talks allowed, kata Mbak Lista). Waktu menunjukkan
pukul 19.15 WIB ketika saya memarkirkan pantat saya di sofa di lobby
hotel yang sama. Ah.. masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali,
pikirku.
Baru beberapa saat saya duduk, terlihat
sosok Mbak Lista berjalan ke arah resepsionis untuk menitipkan kuncinya
dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku. Saya cukup melambaikan
tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit
berdiri dan berlahan menghampirinya.
Kemeja putih berbunga-bunga kecil
berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga
berwarna ungu. Wah.. aliran matching-isme nih, pikirku.
“Hi Mbak, look so nice,” kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
“Thanks, you too,” jawabnya lagi sambil tersenyum.
Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kami langsung berangkat. Karena Mbak Lista meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ.
Kami langsung berangkat. Karena Mbak Lista meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ.
Many times I’ve been there, but still
never get bored. Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari
lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana
tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Lista,
wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja.
Kalau dilihat dari face-nya sih tidak
cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan
obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic
dan smart.
Daripada dengan wanita cakep dan seksi
serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalau
diajak ngomong tidak pernah nyambung dan otaknya isinya cuma kosmetik
dengan toko baju atau factory outlet saja sih jauh sekali, bagusan Lista
kemana-mana.
Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat
Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak
terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak Lista (dan pada kesempatan ini dia
minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa
embel-embel Mbak di depannya) memesan lasagna, biar tidak terlalu
kenyang katanya. Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang
ada di depan saya sekarang. Asyik sekali melihat Lista menikmati
sedikit demi sedikit makanannya.
Ada suatu momen yang bagus sekali saat
tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya
sambil berkata, “Lho kok malah tidak makan?” Hhmm.. asli sumpah bagus
banget angle-nya.
Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat
di bangku sekolah dulu, jadi mungkin inilah yang disebut dengan angle
terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang
dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru
menikmatinya beberapa detik yang lalu.
“Heh.. kok malah bengong?” Lista membuyarkan lamunan saya seketika.
“Ah tidak kok, cuma lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana?” jawab saya sambil mencoba berbohong.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
“Ooohh..” sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
“Ooohh..” sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
Terus terang saya selalu rada takut
menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya
bisa dibaca mereka, hahahaha.
Lalu kami terlibat perbincangan yang
hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal
dari seorang Lista malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda
untuk seorang angkatan 1992.
Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak
perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik
laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan
Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa
media 1998 lalu.
Dia pernah hampir saja menikah pada awal
tahun ini, namun sesuatu terjadi (Lista mengistilahkan dengan something
happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin
20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang
telanjur dihamilinya.
Lista menyebutkan itulah resikonya
pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di
hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah.. manusia, cerita
tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.
“That’s why Albi, ’till now I still
can’t trust men,” Lista berkata dengan tatapan kosong ke arah
kerlap-kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti kucing,
sudah disayang-sayang tetap saja nyolong, hahahaha.. lucu juga
istilahnya.
Saya cuma bisa membela kaum saya
sebisanya. Biar bagaimana pun sepertinya tidak semua cowok itu seperti
kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala, hahahahaha.
Makin lama kami ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal
dari seorang Lista.
Bahkan sampai sekarang dia masih belum
mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat
meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak
psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan
manusia, ternyata tidak juga tuh.
Dia bilang sih tidak semua dokter bisa
menyembuhkan sakitnya sendiri dan tidak semua pilot bisa terbang. Untuk
yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.
“So Albi, why are you still alone ’till now?” tiba-tiba Lista mengubah topik pembicaraan.
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
“Ah tidak ada yang mau sama saya, hehehe..” jawab saya sekenanya sambil becanda.
“Bohong banget, mau tinggi-in mutu yah?” todong Lista.
“Hahaha ketahuan deh saya,” jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
“Boleh Lista ngomong tentang penilaian Lista ke kamu?” katanya tiba-tiba.
“Sok, silakan, mangga..”
Dan mulailah Lista mengutarakan
penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu
pikiran-pikiran saya yang cuma ada di hati, bahkan tidak ada di otak
sekalipun.
Dia bilang kalau dibalik penampilan saya
yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat
melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan
wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri.
Ah.. saya jadi teringat masa lalu saya
yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Lista (katanya semudah membaca
buku yang terbuka, sialan..!). Dimana sekarang beradanya si “love of my
life” itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada
yang benar-benar dapat menggantikannya, hehehe.. kok jadi sentimentil
begini, ini kan cerita, hahahaha.
Untuk beberapa saat saya terdiam, tidak
tahu sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di
masa lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat di
hadapanku. Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya
kota Bandung di bawah sana.
“.. and baby I.., I’ve tried to forget
you but the light on your eyes still.. shine.. you shine like an angel
spirit that won’t let me go..”
Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya..
“Bagus yah Albi, pemandangannya..” tegur Lista membuyarkan pikiran kosongku.
“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini,” jawab saya sekenanya, biar tidak dikira melamun.
Malam semakin larut ketika kami
memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami semakin dekat satu sama lain,
saling curhat selama perjalanan di mobil. Bercanda, tertawa-an bareng.
Why do I feel that everything seems so right when we’re together? Ah
mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana. Waktu menunjukkan sekitar
pukul 11 malam ketika kami kembali menginjakkan kaki di lobby hotel.
“Albi, mau nemenin ngobrol sebentar tidak?” tanya Lista tiba-tiba.
“Boleh aja, emang belum ngantuk?” tanyaku balik.
“Tidak, lagipula kalau di tempat yang asing Lista jadi susah tidur,” katanya memberi reasoning.
Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke
kamar Lista yang terletak di lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2
single bed, TV, kulkas dan peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel
berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe.
“Lha kamu sendiri di sini?” tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Devi, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga,” jelasnya.
“Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya.”
“Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya.”
Kami memasak air dengan menggunakan
ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing
menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kami balikkan
menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram
dan senyap.
Sesekali terlihat mobil melintas dengan
kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun
suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang
menemani perbincangan kami, menggantikan cahaya lampu yang memang kami
padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Lista, padahal
baru beberapa jam kami berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu
terbawa suasana.
Namun kali ini ternyata Lista yang duduk
di sebelah saya bukanlah seperti Lista yang saya kenal dalam jam-jam
terdahulu. Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib
saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain.
Dari dulu semasa di bangku sekolah
hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan
tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya
harus menghadapi Lista yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu
tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu.
Love.. look what you have done to her, bastard..!
Saya bangkit dari duduk dan berjalan
perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya
dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang
menyesakkannya selama berbulan-bulan.
Saya mencoba menenangkannya sebisa saya
dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya
bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan
ketidakseListaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan
lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka
telah menikah.
Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Lista terlihat sudah agak tenang.
“Thanks Albi, kamu mau jadi tempat sampah Lista,” katanya sambil sedikit tersenyum.
“That what friends are for,” jawab saya
singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak
kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe.. pamali
tau..!
Saya duduk lesehan di karpet
bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmm.. enak juga
duduk posisi seperti ini. Tidak berapa lama kemudian Lista menyusul
turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku.
“Kayaknya enak banget lihat gaya kamu,” katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet.
“Albi, kamu itu aneh yah?” tiba-tiba suara Lista menyentakku.
“Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?”
tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel
beberapa waktu yang lalu.
“Hihihihi..” terdengar Lista cekikikan mendengarnya.
“Ya aneh aja, Lista baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Lista udah kenal sama kamu lama banget,” katanya lagi.
“Sampai Lista mau curhat sama kamu, padahal Lista paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal.”
“Sama, aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kami pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah?” jawab saya sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu..” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku.
Jujur saja saya cukup terkejut menerima
perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi
dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?
Cukup lama kami masing-masing terdiam
dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi
kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari
TV rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:
I can eat my dinner in the fancy
restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos
nothing compares, nothing compares to you..
Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Lista mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini saya cari?
Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Lista mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini saya cari?
Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam
beberapa jam saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana? How
can I be so sure about that? dan sekian banyak pertanyaan lainnya
berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan.
Yang saya tahu beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat dan
sekilas saya melihat Lista menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup
lembut bibirnya.
Kami berciuman seakan-akan kami sepasang
kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan
dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Lista dan
mendudukkannya dalam pangkuan.
Kini kami semakin dekat karena Lista
saya rengkuh dalam pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan
dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak
pernah dia lepaskan. Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar
tarikan nafas Lista yang terdengar begitu lembut.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk
mulai menurunkan bibir ke arah lehernya. “Ugh..” hanya terdengar
lenguhan lembut seorang Lista ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir
saya menjelajahi lehernya. Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya
lakukan. Lista justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan
lehernya yang putih dan jenjang.
Kedua tanggannya meremas seprai tempat
tidur sebagai tumpuan. Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya
perlakukan Lista selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter
lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah
tubuhku.
“Albi.. oohh..” lenguh Lista saat dia
menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemejanya. Ya.. saya memang
melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya kepadanya.
Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari
dada Lista, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami.
Dengan sekali gerakan, saya dapat menggendongnya. Kami lanjutkan
percumbuan dalam posisi berdiri dengan Lista dalam gendongan. Tangannya
mulai meremasi rambutku.
Perlahan-lahan kemejanya terjatuh
terhempas ke karpet, menyisakan bagian atas tubuh Lista yang tinggal
berbalutkan sehelai bra putih. Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi
ini, sampai akhirnya saya merebahkannya di ranjang.
Terdengar suara Donita, presenter MTV
Asia, terakhir kali sebelum saya meraih tombol off TV yang terletak di
buffet samping ranjang. Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya
tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Lista mencoba untuk
melepaskan satu per satu kancing kemejaku hingga akhirnya ia berhasil
melepaskannya, hampir bersamaan saat saya berhasil melepaskan bra-nya.
Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah
perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different, pikirku. Jujur
saja, saya sudah beberapa kali mengalami sexual intercouse, pun dengan
orang-orang yang baru saja saya kenal. Namun kali ini terasa berbeda.
Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak, sebegitu
dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi
keberadaannya.
Sayang, yah mungkin inilah yang disebut
dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan
keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut
mungkin. Lista bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak
pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the
best!
Terdengar lagi lenguhan Lista saat saya
mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari
sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya. Jilatan-jilatan
diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya,
berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut.
Saya meneruskan cumbuan saya ke arah
perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan celana panjangnya ke
karpet. Sekarang terpampang pemandangan yang tidak mungkin saya
lupakan, seorang Lista yang baru saya kenal hari ini, rebah dengan hanya
berbalutkan celana dalam.
Untuk pertama kalinya saya memandang
seorang wanita dalam kondisi seperti ini tidak dengan nafsu yang
menguasai. Begitu terasa bagaimana saya memang menyayangi dan
menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan
begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus saya cari selama ini dari
diri seorang wanita.
Kini saya mengulum pusarnya, seiring
lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya
mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Lista. Terdengar
sedikit nada terkejut Lista saat saya mulai menurunkan centi demi centi
celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana.
Seiring itupun, saya mulai menurunkan
jilatan ke arah selangkangannya. “Albi.. mau ngapain.. uugghh..”
pertanyaan yang coba diajukan Lista tidak dapat diselesaikannya begitu
dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya.
Permainan lidahku pada liang
kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang
hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah
justru memicu reaksi Lista semakin terbakar. “Ohh.. Albio..” lenguhnya
panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.
Hisapan dan jilatan silih berganti saya
lakukan dengan penuh kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar
Lista seperti mendekati puncaknya. “Aaahh..” jeritnya panjang sambil
menghentakkan tubuhnya ke atas saat puncak itu datang melandanya,
menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan
menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.
Kini saya memandang wajahnya. Matanya
yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang
mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya yang
tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Lista
terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya.
Saya biarkan Lista meregang dirinya
dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk
menyibukkan diri mencari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol
9, for greater protection” (If you were a great 17tahun2 fan, you should
know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said
that only bastards always bring this thing around. Yeah.. maybe I’m the
one of them).
Lista baru membuka matanya ketika
dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir organ
kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku yang
tepat berada di depan wajahnya. “Lista, may I..?” bisikku sambil
mengecup keningnya. Lista hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil
tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this
question.
Perlahan-lahan saya tekan kejantananku
menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas
Lista tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili
penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya
terbenam utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati
bersatunya raga (dan hati) kami berdua.
Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai
melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Saya masih
ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di
sisi tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga
kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat
melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin
tinggi terbuai kenikmatan duniawi.
Entah berapa lama keadaan ini
berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Lista mulai mendekati orgasme
keduanya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan
ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya.
Nafasnya makin memburu, terdengar jelas
di telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk
membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya. “Eeegghh.. Albio.. aahh..”
jerit Lista tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme
keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam
jurang kenikmatan yang sangat dalam.
Saya menghentikan pergumulan kami
sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur nafasnya seusai
melewati puncaknya yang kedua. Saya hanya memberikan senyuman dan
kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Lista mulai membuka
matanya.
“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.
“Albio.. eh..!” teriaknya sedikit
terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua tangannya untuk kemudian
mendudukkannya dalam pangkuanku.
Punggungku bersandar di kepala ranjang,
dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman. Perlahan
kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang
kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar
erangan lirihnya saat Lista merasakan bagaimana kejantananku perlahan
menikam tubuhnya.
Kali ini kubiarkan Lista memegang
kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Lista memompa diriku.
Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya
di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan
sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku terasa makin
dalam menghujamnya.
Ahh.. sungguh suatu pemandangan yang
tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga
kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang
terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai
bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang
berguncang-guncang. Ughh.. It’s really a loveable thing to see.
Pemandangan yang sangat melenakan
ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku,
menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah
persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari
dalam tubuhku.
Oh My God, saya ras saya akan sampai
puncaknya, pikir saya. “Albio.. I’m almost there..” bisik Lista lirih
sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku. “Yes.. babe, me too..”
jawabku sambil mengecup erat bibirnya.
Selanjutnya terasa bagaimana gelombang
menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku.
Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk
keluar, sementara tikaman batangku semakin menghadirkan sensasi
kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya.
“Aaahh.. Albio..” jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.
Saya masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya..
“Listaa.., aku keluaarr..!” teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.
Terasa bagaimana derasnya cairanku
menyembur keluar. Untung saya menggunakan kondom, masih sempat diriku
berpikir di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku
dalam suatu sensasi kenikmatan yang sangat dahsyat. Dalam beberapa saat
ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian
rebah di ranjang.
“Thanks honey, you’re so great..” bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
“Ahh.. Albi..” lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.
Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana.
Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana.
Sesekali melintas mobil angkutan kota
yang beroperasi selama 24 jam menuju terminal Kebon Kelapa. Kami hanya
duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Kugenggam erat Lista dalam
pangkuanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun yang melekat di
tubuh kami.
Terkadang kudengus lembut telinga Lista,
yang selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah.. betapa romantisnya,
memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busana pun yang
melekat.
Tak terasa sudah lebih dari setengah jam
kami berdua tertegun memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut
menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
“Albi, Lista pengen mandi rasanya,” tiba-tiba suara Lista mengejutkanku.
“Ya udah sana mandi,” jawabku.
“Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul,” godaku lagi.
“Huuh.. maunya,” sahut Lista manja
sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu
menghilang di balik pintu kamar mandi.
Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan.
Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan.
Sungguh jauh lebih indah dibandingkan
dengan pengalaman-pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang
sempat hadir dalam malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul
keinginanku untuk selalu berdekatan dengan Lista. Hanya beberapa menit
ia tinggalkan (dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah
hadir dalam benakku.
Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku
ke arah kamar mandi untuk menyusul Lista. Krek.. terdengar pelan suara
handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm.. ternyata memang Lista tidak
menguncinya, wah bandel juga nih anak, pikirku.
Perlahan kubuka pintu untuk kemudian
mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar
dari belakang bagaimana Lista tengah menikmati pancuran air dari shower
yang membilas lembut tubuhnya.
Kaca penutup shower menghalangi
pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Lista
gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan
kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan
reaksinya.
Perlahan kubuka pintu kaca shower untuk
kemudian mendekap tubuh Lista dari belakang. “Hei..!” seru Lista
terkejut sesaat menyadari ada orang lain yang berada dalam kotak
showernya. “It’s me honey..” kataku menenangkan sambil mendaratkan
ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya. “Ughh.. Albi..” lenguh
Lista pendek.
Terus kudaratkan ciuman bertubi-tubi ke
tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang
pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower
yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali
kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati
sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami
dengan butiran-butiran air.
Setelah kurasa percumbuan kami cukup
untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam
liang kemaluannya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku
menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya
menerobos hingga ke pangkal batangku.
“Arrgghh..” jerit Lista tertahan ketika
ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku.
Saya mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Lista membuka kedua
kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran
panas-dingin pada shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan
arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kami.
Kami bersetubuh di bawah siraman
kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami Listada henti.
Terdengar sayup-sayup deru nafas Lista diantara derasnya suara air yang
tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Lista
ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya,
sambil tentunya terus memompanya dari belakang.
Terus kutikamkan batangku ke dalam liang
kemaluannya Listada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi
persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya
lubang kewanitaan Lista kian menghimpit kejantananku.
Tiba-tiba kedua tangan Lista menjangkau
tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya,
mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu
menggairahkan perasaan, “Albio.. ahh..” Ternyata Lista kembali meraih
orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang
bergulung-gulung mendera batinnya.
Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari
kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer
yang kami injak. Beberapa saat tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada
saat akhirnya Lista mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri.
Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium
lembut bibirnya. “You’re wonderful, Babe,” pujiku saat dia mulai
membuka matanya dan memandang ke arahku.
Lista membalikkan tubuhnya dan memelukku
erat. Kucium kembali bibir Lista sambil kuangkat tubuhnya meninggalkan
kotak shower tempat kami memadu nafsu. Kurebahkan tubuhnya di lantai
marmer kamar mandi dengan perlahan.
Kembali kuletakkan kejantananku di bibir
kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk ke dalam. Sejenak
kulihat Lista mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah menikmati sensasi
penetrasi batangku ke dalam liang kemaluannya.
Kembali kupompakan kejantananku ke dalam
tubuh Lista, membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian
membuat kami terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan
perlahan.
Terus kusetubuhi tubuh Lista yang
tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang makin
menjepit batangku. “Lista, Albi mau keluar..” bisikku lirih saat mulai
kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku, setelah
beberapa waktu berlalu. “Yes Albi, semprotkan ke dadaku,” sahut Lista
sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.
Terus kupompakan batang kejantananku
untuk mencapai puncak ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya
mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak
membawa hasil karena tidak berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng
pertahananku tidak akan bertahan lama lagi. Sempat kuhujamkan beberapa
kali lagi kemaluanku dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras
seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh
permukaan dada Lista.
“Ahh.. Aku keluaarr..” teriakku parau.
“Yes.. ehhmm..” erang Lista tidak dapat
menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku
ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.
Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme
yang sangat dahsyat, dimana Lista ikut membantunya dengan mengurut-urut
batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di
dalamnya. Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas
klimaks yang baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku
di sampingnya.
Saya tersadar dari tidur dengan
mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Lista yang tidur memunggungiku
sambil kupeluk dari belakang. Sejenak kucoba mengingat-ingat apa yang
baru saja saya alami.
Samar-samar saya mulai mengingat
bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui sebuah klimaks
yang dahsyat dalam dekapan Lista di lantai kamar mandi. Yah kuingat
bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri, mengeringkannya untuk
kemudian menikmati tidur dalam posisi saling berpelukan.
Terasa dinginnya udara AC kamar
menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kain pun saat
kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di
lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon.
Kukecup lembut kening Lista saat telah
lengkap saya berpakaian. Terdengar lirih suara Lista saat dia mulai
tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia
benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang
sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu?
Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB
ketika dengan santai kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika
yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan
radio-radio swasta yang mulai mengudara.
Saya memang harus segera pergi dari sisi
Lista, setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta
dengan rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan
yang tidak lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan
kami sedang tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.
But no business talks allowed, masih
terngiang di telingaku perkataan Lista saat kuajak dirinya melewatkan
malamnya menikmati suasana Bandung semalam. Yah.. semoga memang begitu
keadaan selanjutnya. Terus terang saya paling tidak mau mencampurkan
urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika saya ditolak untuk pekerjaan,
biarkanlah itu karena memang saya tidak cukup qualified untuk diterima,
bukan karena saya telah berani kurang ajar kepada salah seorang
pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa saya kurang ajar,
hehehehe..).
Di lain pihak jika saya diterima
bekerja, biarlah itu karena memang skill dan capability saya memang
dibutuhkan oleh perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu
hubungan khusus dengan seorang Lista. Meminjam istilah Mbak Sari,
mendaki corporate lewat ranjang, hahahaha.
Dalam hati saya masih sedikit terbersit
harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana
Lista mengecup lembut bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I
said before, everything seems so right when we’re together. Is she the
Miss. Right for me after I’ve been looking for all over places? Why do I
feel that she’s the one, eventhough I have known her only by day.
Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya
waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di
masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi
seListap pagi.
No comments:
Post a Comment